Saturday, June 11, 2016

Tradisi Lebaran


*Dasar-dasar Tradisi Lebaran Di Tanah Air*

Majalah Cahaya Nabawi pada Edisi  No. 150 Th. IX Ramadhan 1437 H / Juni 2016 menurunkan sebuah tulisan yang menarik dengan judul, "Bid'ah Dalam Tradisi Lebaran." Berisi tentang hujjah (argumentasi/dalil) yang menjadi landasan sejumlah tradisi kaum muslim Tanah Air dalam mengisi Hari Raya Idul Fitri.

Seperti kita ketahui, Umat Islam di Tanah Air kaya akan tradisi yang unik. Bagi sebagian kalangan yang 'kurang piknik' sering memberikan pandangan negatif sehingga menganggap tradisi dalam Hari Raya sebagai sebuah perbuatan yang tidak ada contohnya dalam Islam, tidak ada dasarnya, atau bahasa kasarnya, "bid`ah dholaalah."

Ternyata, anggapan di atas tidak tepat. Pasalnya, tradisi yang berkembang dan hidup subur bersama dengan semangat keislaman kaum muslim di negeri ini tidak ada yang menyimpang, bahkan sejalan dengan ajaran Islam. Apa saja tradisi-tradisi dalam berhari raya di Indonesia beserta landasan dasarnya?

Berikut adalah rangkuman yang saya tulis dengan beberapa penambahan seperlunya. Untuk lebih lengkapnya, silakan membaca langsung Majalah Cahaya Nabawiy.

*Pertama*, mengucapkan selamat hari raya dengan kalimat, "Minal Aidhin wal Faaiziin Mohon Maaf Lahir dan Batin." Biasanya ucapan semacam ini disambung dengan kalimat, "Taqabbalallaahu minnaa wa minkum." Jika ditelisik lebih dalam, ucapan, "Minal Aidhin wal Faaiziin Mohon Maaf Lahir dan Batin," bersumber dari doa, "Ja`alanallaahu wa iyyaakum minal `aaidhiin wal faaiziin (Semoga Allah menjadikan kita dan kalian sebagai golongan yang kembali fitrah (suci) dan golongan yang unggul."

Ungkapan doa di atas adalah bentuk sikap saling mendoakan sebagai sesama muslim yang saling bersaudara. Sebagai sesama muslim sudah seharusnya untuk saling mendoakan dalam kebaikan. Doa seorang mukmin untuk saudaranya bahkan jauh lebih mustajab dari doa untuk dirinya sendiri.

Dalam konteks merayakan Hari Raya, saling mendoakan sudah menjadi ajaran sejak era sahabat. Imam Ibnu Hajar dalam Kitabnya Fath Al-Baarii menulis:

وَرَوَيْنَا فِي الْمَحَامِلِيَّاتِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ
"Telah kami riwayatkan dalam Al-Mahaamiliyyaat dengan rantai sanad yang hasan dari jalur Jubair bin Nufair yang berkata, 'Para sahabat Rasul SAW jika berjumpa pada waktu Hari Raya, mereka saling mendoakan dengan berkata, 'Semoga Allah menerima dari kami dan dari anda."

وَسُئِلَ مَالِكٌ أَيُكْرَهُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقُولَ لِأَخِيهِ إذَا انْصَرَفَ مِنْ الْعِيدِ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك وَغَفَرَ لَنَا وَلَك وَيَرُدُّ عَلَيْهِ أَخُوهُ مِثْلُ ذَلِكَ قَالَ لَا يُكْرَه

"Imam Malik pernah ditanya, 'apakah dihukumi makruh seseorang yang berkata kepada saudaranya ketika selesai dari (salat Id), 'taqabbalallaah minnaa wa minka,' lalu dibalas oleh saudara dengan ucapan yang sama?'

Imam Malik berkata, 'Hal itu bukan sesuatu yang dimakruhkan (dibenci).'"

*Kedua*, tradisi Halal bi Halal yang berarti sikap untuk saling menghalalkan (memaafkan) kesalahan masing-masing, meleburkan dosa masa silam yang terjadi selama berinteraksi dengan sesama. Dasar pelaksanaan tradisi Halal bi Halal adalah sebuah riwayat dari Abu Hurairah :

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ، أَوْ شَىْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ، فَحُمِلَ عَلَيْه

"Siapa yang memiliki tanggungan kezaliman terhadap saudaranya, entah dalam hal kehormatan atau pun hartanya, maka hendaklah ia meminta *kehalalannya* hari ini sebelum datang Hari (Kiamat) di mana tidak berguna lagi dirham dan dinar. Pada Hari Kiamat kelak bila seseorang yang mezalimi belum meminta *kehalalan*  dari saudaranya dan ia memilki amal kebaikan, maka sebagian amal kebaikannya itu diambil sesuai kadar kezaliman yang ia kerjakan untuk diserahkan kepada orang yang pernah ia zalimi. Bila ia sudah tidak memiliki sisa amal kebaikan, maka dosa yang dimiliki orang yang pernah ia zalimi di dunia, akan dilimpahkan kepadanya sebanyak kezaliman  yang pernah lakukan." (HR. Bukhari)

Disebutkan dalam hadits yang lain :

رَحِمَ الله عَبْداً كانَتْ لأَخِيهِ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ فِي عِرْضٍ أَوْ مالٍ فَجاءَهُ فاسْتَحَلَّهُ قَبْلَ أَنْ يُؤخَذَ

"Semoga Allah merahmati seorang hamba yang pernah melakukan kezaliman terhadap harta dan kehormatan saudaranya, lalu ia mau datang kepada saudaranya yang dizaliminya itu untuk minta *kehalalannya* sebelum ajal menjemput." (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah).

*Ketiga*, tradisi sungkeman kepada orang tua. Tradisi ini merupakan sesuatu yang terpuji. Tidak ada di dalamnya pelanggaran atau penyelewengan dari ajaran Islam. Berbakti kepada ayah-ibu kita di masa hidupnya atau setelah wafatnya bagi seorang anak merupakan sebuah kewajiban. Sehubungan dengan sungkeman ini yang diisi dengan mencium tangan atau kaki orang tua, terdapat pendapat Imam Al-Hafizh Al-Iraqi yang berkata :

وَأما تَقْبِيل الْأَمَاكِن الشَّرِيفَة على قصد التَّبَرُّك، وَكَذَلِكَ تَقْبِيل أَيدي الصَّالِحين وأرجلهم فَهُوَ حسن مَحْمُود بِاعْتِبَار الْقَصْد وَالنِّيَّة

"Adapun mencium tempat-tempat yang mulia, mencium tangan dan kaki kaum shalihin, dengan tujuan mencari berkah merupakan perbuatan baik dan terpuji berdasarkan niat dan tujuannya."

Tradisi _sungkeman_ dengan misalnya, berziarah ke makam orang tua atau sanak famili yang telah wafat di waktu Lebaran merupakan perbuatan yang terpuji. Sebab, berziarah merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Dengan berziarah akan mengingatkan kita tentang kematian, melunakkan hati, dan membuat air mata menangis, serta mengingatkan kampung akhirat yang akan menjadi tempat tinggal kita yang hakiki.

Rasul SAW bersabda :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها، فإنها تُرِق القلب، وتُدمعُ العين، وتُذكَّر الآخرة، ولا تقولوا هجرا

"Dahulu aku pernah melarang kalian untuk ziarah kubur, namun sekarang hendaknya kalian berziarah kubur karena hal itu dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak baik." (HR. Hakim).

Tidak ada waktu khusus dalam melakukan ritual ziarah ke makam. Ziarah bisa kita lakukan kapan saja di waktu yang kita hendaki. Apakah boleh melakukan ziarah setahun sekali, misalnya, tatkala datang waktu lebaran? Boleh. Rasul SAW melakukan hal seperti ini dan menjadi teladan bagi para sahabatnya. Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat Ar-Ra`d ayat 24, mengutip sebuah hadits berikut ini :

وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَزُورُ قُبُورَ الشُّهَدَاءِ فِي رَأْسِ كُلِّ حَوْلٍ فَيَقُولُ لَهُمْ: سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِما صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ وكذلك أبو بكر وعمر وعثمان

"Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasul SAW pernah menziarahi kuburan para syuhada setiap Haul (tahun) dan mengucapkan doa berikut, 'Salam (keselamatan) untuk kalian atas kesabaran kalian dan sebaik-baiknya balasan adalah balasan akhirat (Qs. Ar-Ra`d : 24),' Sahabat Abu Bakar, Umar, dan Utsman juga melakukan hal yang sama."

*Keempat*, tradisi mudik. Mudik telah menjadi tradisi turun-temurun dari masa ke masa. Tradisi satu ini telah menyedot perhatian beragam kalangan, utamanya pemerintah yang berusaha memberikan pelayanan terbaik demi kelancaran dalam arus mudik dan baliknya.

Mudik merupakan aktifitas yang berisi penyambungan tali kekeluargaan di kampung halaman. Setelah sekian lama terpisah, momen idul fitri menjadi ajang melepas rindu kepada sanak famili. Mudik adalah kesempatan untuk saling menguatkan tali kekeluargaan. Silaturahmi memberakahi umur dan melapangkan rezeki, seperti sabda Nabi Muhammad SAW :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَه

"Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya atau dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi." (HR. Bukhari-Muslim).

Demikianlah sejumlah tradisi Lebaran dengan dasar-dasar argumentasi yang dibangun dari ajaran Nabi Muhammad dan para sahabat, serta penjelasan dari para ulama yang mumpuni ilmunya.

___________

Ali Akbar bin Aqil (Anggota Redaksi Majalah Cahaya Nabawiy)

Terkirim dari Samsung Mobile

No comments:

Post a Comment